Innalillahi... Kapal bawa pelarian Rohingya Tenggelam infomalay12.blogspot.com

  Sabtu, 30 September 2017 

Kapal yang ditumpangi pengungsi Rohingya tenggelam. (Foto: AFP) 
 Kapal yang ditumpangi pelarian Rohingya tenggelam. (Foto: AFP)

COX’S BAZAR – Lebih dari 63 warga etnik Rohingya yang mengungsi dari Myanmar maut ketika kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Ketika bersamaan, Amerika Syarikat   menyerukan agar negara-negara menghentikan penjualan senjata kepada Myanmar.

Seorang pegawai Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan bahwa 23 orang telah disahkan meninggal dan 40 orang lainnya hilang. Sementara sebanyak 17 orang berhasil menyelamatkan diri.

”Ketika ini 40 masih hilang, prediksi kami angka korban maut sekitar 63 orang,” terang pegawai IOM Joe Millman seperti dilansir Reuters. Kemudian menurut saksi korban Abdul Kalam (55), isteri dan dua anak perempuannya serta seorang cucunya menjadi korban maut.

Kalam menyatakan warga Myanmar bersenjata mendatangi desa mereka, mengambil ternak dan makanan. ”Warga desa diperintahkan berkumpul di sebuah kantor tentera dan dikatakan bahwa tidak ada warga seperti orang Rohingya di Myanmar,” ungkap Kalam.

Setelah kejadian itu dia memutuskan untuk pergi menuju perairan bersama seluruh keluarganya, menghindari pos tentera. Kemudian warga Rohingya yang berduka kelmarin menguburkan 18 jenazah anggota keluarga yang tenggelam di perairan Bangladesh.

Keluarga menguburkan mangsa yang meninggal di kuburan massal. ”Kapal kita dihantam ombak besar dan tenggelam,” ujar Lalu Miya, korban yang isteri, anak perempuan, dan dua anak lelakinya meninggal dunia. Dua anaknya yang lain juga dilaporkan masih hilang.

Selain Lalu, Suna Miya juga kehilangan tiga puterinya dalam musibah tersebut. Namun isteri Suna dan tiga anak lainnya berhasil selamat. Sementara itu dunia internasional sudah menunjukkan kemarahan terhadap Myanmar kerana krisis pengungsi Rohingya terus terjadi.

Di NewYork, Duta Besar Amerika Syarikat  untuk Pertubuhan Bangsa- Bangsa (PBB) Nikki Haley menyerukan negara-negara agar menghentikan pengiriman senjata kepada Myanmar.

”Negara yang ketika ini menyediakan senjata untuk tentera Myanmar seharusnya menghentikan aktiviti tersebut hingga ada langkah penjelasan tentang tindakan kekerasan,” ujar Haley.

Itu merupakan seruan pertama AS untuk menghukum tentera Myanmar. Haley juga menyebut pengusiran ribuan pengungsi Rohingya merupakan bentuk pembersihan etnik.

”Kita tidak khuatir menyerukan bahwa tindakan pemerintahan Myanmar sebagai tindakan brutal dan berkelanjutan untuk membersihkan negara dari etnik minoriti,” ujar Haley kepada Dewan Keamanan PBB.

Dia juga mengungkapkan tentera harus pula menghormati HAM dan kebebasan fundamental. ”Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan pelanggaran seharusnya bertanggung jawab dan segara dituntut kerana dinyatakan bersalah,” ujarnya.

Adapun Setiausaha PBB, Antonio Guterres mengatakan kepada  Majlis Keselamatan PBB bahwa kekerasan di Myanmar telah meluas. ”Itu menjadi darurat pengungsi yang berkembang dan tercepat di dunia,” ujar Guterres.

Dia menambahkan, krisis tersebut telah menjadi mimpi buruk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan krisis kemanusiaan. Sementara itu Dewan Hak Asasi Manusia PBB memperpanjang misi pencarian fakta tentang pembasmian etnik Rohingya di Myanmar selama enam bulan hingga September 2018.
serta seorang cucunya meninggal.

Kalam menyatakan warga Myanmar bersenjata mendatangi desa mereka, mengambil ternak dan makanan. ”Warga desa diperintahkan berkumpul di sebuah kantor tentera dan dikatakan bahwa tidak ada warga seperti orang Rohingya di Myanmar,” ungkap Kalam.

  ”Kita tidak khuatir menyerukan bahwa tindakan pemerintahan Myanmar sebagai tindakan brutal dan berkelanjutan untuk membersihkan negara dari etnik minoriti,” ujar Haley kepada Dewan Keamanan PBB.

 Dia menambahkan, krisis tersebut telah menjadi mimpi buruk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan krisis kemanusiaan. Sementara itu Dewan Hak Asasi Manusia PBB memperpanjang misi pencarian fakta tentang pembasmian etnik Rohingya di Myanmar selama enam bulan hingga September 2018.

Subscribe to receive free email updates: